Andai hubungan itu tak usai, harusnya minggu
depan hubungan itu genap berusia 2 tahun. Sayangnya hubungan itu sudah berakhir
bahkan ketika usianya baru seumur jagung.
Aku menatap jauh ke arah lapangan basket yang ada di tengah sekolah, tepat di
depan kelasku. Pria itu ada disana. Pria yang akan merayakan hari ulang
tahunnya minggu depan, tepat dihari yang harusnya menjadi anniversary
day untuk hubungan kami. Ya, dulu kami memulai hubungan itu bersamaan
di hari ulang tahunnya. It was an unforgettable moment :’).
Sekali lagi, sayangnya hubungan itu sudah usai……
Tak terasa 2 tahun berlalu begitu saja, dan entahlah kenapa aku masih menaruh
rasa pada pria berlesung pipi itu. Padahal selepas dengannya aku sempat
beberapa kali menjalin hubungan dengan pria lain, namun tak ada yang berbekas.
Semua hubungan itu berlangsung dan berakhir begitu saja, tak ada kesan
apapun. Apa itu karena aku masih menaruh rasa pada Rifan? Ntahlah…
Hubunganku dan Rifan berakhir tanpa masalah. Kami memutuskan hubungan itu
karena memang sudah merasa tak cocok satu sama lain, tapi lebih tepatnya dia
yang memutuskan hubungan. Dimasa-masa genting itu aku
sempat mencoba untuk bertahan karena kukira masih bisa memperbaiki semuanya,
namun berbeda dengan Rifan yang sepertinya sudah tak mampu mempertahankan
hubungan kami. Ya sudahlah, akhirnya hubungan itu usai.
Untuk apa aku mempertahankan hubungan itu jika dia pun sudah tak
ingin mempertahankannya?
Sebenarnya aku sangat tak menginginkan perpisahan itu. Jujur, saat itu aku
sedang mulai sungguh-sungguh mencintainya. Saat ia mengucapkan kalimat ‘putus’,
aku hancur. Namun aku mencoba untuk baik-baik saja dan menerima semuanya dengan
berat hati namun akan kuhadapi.
Aku bukan gadis lemah…. Setidaknya aku cukup kuat untuk tak menangis
dihadapan orang yang aku sayangi. Aku tak ingin dianggap lemah oleh siapapun.
Teng…… teng teng…….~
Lonceng tanda jam istirahat usai berbunyi. Dan anak-anak yang sedang menggiring
bola di lapangan itu sudah bubar. Tak sabar aku menanti hari esok untuk kembali
melihatnya di lapangan itu. Sekarang aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh,
secara diam-diam.
Dan disinilah aku, dalam kehampaan bersama perasaan yang tak kunjung padam. Aku
tak tahu kenapa Tuhan belum membukakan hati ini untuk cinta yang lain. Tapi aku
yakin saat itu pasti ada, saat itu akan segera tiba, saat dimana aku kan
memulai cinta yang ‘baru’.
“Lo datang gak ke birthday party-nya Rifan minggu depan?”, Tiara
tiba-tiba muncul dan mengusik semua lamunanku.
”Birthday party?”, Aku bertanya heran. Aku tak tahu-menahu mengenai
pesta ulang tahun apapun.
“Iya, masa lo gak tau sih?”
Tiara adalah sahabatku, dia tau bagaimana seluk-beluk hubunganku dengan Rifan
sejak hubungan itu dimulai hingga berakhir begitu saja. Ia juga tau bahwa aku
belum move on.
Ya, aku belum move on. Aku masih menaruh rasa pada Rifan.
“Gue gak tau.” Aku memalingkan wajah. Mengambil buku catatan dan perlengkapan
belajar lainnya.
“Rin,” tiba-tiba Tiara menyentuh bahuku. Kutatap wajahnya. Tatapannya penuh
rasa iba. Aku tau dia tau bagaimana perasaanku saat ini. Dia tau aku sedang tak
baik-baik saja sejak hubungan itu berakhir.
Tanpa kusadari airmataku menetes. “Gue gak papa kok…”
Kuusap airmataku, kemudian tersenyum.
********
3 Hari menjelang failed anniversary day.
Aku masih tak mendapat informasi apapun mengenai birthday party yang
dengar-dengat akan diadakan oleh Rifan. Tiara memilih untuk tak membahasnya
lebih lanjut denganku karena ia tau aku takkan baik-baik saja jika membahas
apapun yang membuatku mengingat Rifan.
Aku siap jika memang Rifan tak mengundangku ke acara itu. Tapi entahlah aku
siap atau tidak untuk menghadapi kenyataan bahwa aku hanya pura-pura siap untuk
menerima semuanya.
Jauh di palung hatiku, aku sangat ingin datang ke pesta itu.
Teng teng teng……….~
Saatnya jam istirahat. Aku dan Tiara berjalan santai menuju kantin. Dan hari
ini aku tak melihat ‘mereka’ di lapangan itu. Biasanya jam segini mereka sudah
berlarian di tengah lapangan.
Ketika tiba di kantin sekolah, aku dan Tiara dikagetkan dengan teriakan
beberapa orang siswi yang ternyata adik kelas kami. Mereka bersorak, “Serius
lo???”
“Berisik!” celetuk salah seorang siswa dipojok kantin.
Karena tak ada bangku kosong lainnya, akhirya aku dan Tiara terpaksa duduk di
dekat geng adik kelas yang bersorak tadi. “Ntar kalo mereka
berisik lagi, usir aja.” Kata Tiara sambil membawa semangkuk bakso dan segelas
es teh manis menuju bangku kosong itu, aku mengikutinya dari belakang sambil
terkekeh.
Sayup-sayup perlahan mulai terdengar di telingaku pembicaraan siswi-siswi kelas
X itu. Sambil melahap bakso yang teronggok didepanku, akupun menyimak
pembicaraan mereka, tanpa kusengaja tentunya.
“Jadi lo beneran diajak langsung sama kak Rifan ke pestanya, Git?”
UHHUKK ! aku tersedak, buru-buru aku langsung meneguk es teh manis yang ada di
atas meja. Tiara yang menyadari apa yang sedang terjadi pun ikut kaget. Ia
menatapku dengan ekspresi yang entahlah apa itu namanya.
“Iya beneran lah! Tadi tuh kita ketemu di perpus dan ya dia bener-bener minta
gue untuk datang ke acara ulang tahunnya ntar.”, jawab cewek bernama Gita itu
dengan semangat.
“Ciyye, kayanga bentar lagi bakal ada yang jadian nih. Hahahaha”
“hahaha……” mereka tertawa.
“berisik!”,bentak Tiara. Dan keadaan kembali normal.
Aku kembali melahap bakso beserta kuah baksonya. Tak lagi terasa nikmat.
“Cantik….” Kataku tiba-tiba secara berbisik. Tiara menatapku.
“Rin, udah deh gak usah mikir macam-macam. Mungkin itu cuma sekedar undangan
biasa. Kita kenal Rifan, kan? Dia dekat sama siapapun.”
“Tapi sekarang dia udah jauh banget dari gue, bahkan untuk sekedar undangan
biasa pun gue gak dapat.”
Hatiku miris. Selera makanku langsung hilang begitu saja. Masih tersisa
beberapa butir bakso lagi dalam mangkuk baksoku, aku meninggalkannya begitu
saja dan kembali ke kelas. Tiara tak mengejarku, ia hanya diam sambil
memperhatikan langkahku dengan wajah iba.
Aku tahu sebenarnya Tiara pun memikirkan hal yang sama. Pasti ada sesuatu yang
special antara Rifan dan cewek bernama Gita itu. Cewek cantik berambut lurus
panjang, kulitnya putih dan tinggi serta berat badannya proporsional. Cocok
jika memang ia menjadi kekasih Rifan.
Tuhan, ajarkan aku untuk ikhlas menerima kenyataan pahit bahwa Rifan sudah
menemukan penggantiku…
**********
Tak lama, jam pelajaran sekolah pun usai. Ketika lonceng tanda jam sekolah
berakhir aku langsung buru-buru keluar kelas. Suasana hatiku sedang tidak enak.
Aku tak ingin diganggu oleh siapapun, bahkan oleh tiara. All the things
I need now just being lonely.
Rasanya aku ingin cepat-cepat mengakhiri bulan ini. Aku tak mau menghadapi
‘hari itu’, aku tak tau apa aku sanggup menghadapi kenyataan pahit yang akan
terjadi di hari itu nanti.
Belum jauh aku berjalan dari kelas, ponselku berbunyi.
-Tiara memanggil-
Tak kuhiraukan panggilan itu. Hari ini aku ingin sendiri.
Ponsel yang berdering kubiarkan berisik di dalam tas. Saat panggilan itu usai,
langsung kuubahmode profilnya menjadi silent. Agar tak
ada yang menggangguku sama sekali hari ini.
I wanna be alone.
*********
Pukul 5.00pm, aku tiba di rumah dalam keadaan masih galau.
Berkeliaran sendirian di mall ternyata tak mengubah apapun. Tapi setidaknya aku
sudah lebih tenang.
Ketika aku baru saja hendak membuka pagar rumahku, tiba-tiba langkahku
dihentikan oleh seseorang yang memanggilku. “hey, Rin!”, aku menoleh ke arah
pria itu, pria yang mengenakan seragam sekolah sama seperti punyaku.
“Rifan? Mo nyari siapa?” tanyaku dengan nada yang berusaha stay cool,padahal
dalam hati dag dig dug.
Setelah setahun lebih ia tak pernah ke rumahku lagi dan tiba-tiba hari ini dia
muncul di depan rumahku disaat-saat aku sedang tak ingin mengingatnya. Aku tak
dapat mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat melihatnya ada disini, di depan
rumahku.
“Mo nyari lo lah, Rin. Mo nyari siapa lagi coba….?” Ia terkekeh, ya memang itu
pertanyaan yang terlalu basi untuk kujadikan bahan berbasa-basi. Aku ikut
terkekeh.
Well, sekarang aku tau apa yang aku rasakan saat ini, nervous! Sejak
putus, baru kali ini dia berada di hadapanku sedekat ini lagi. Tuhan,
apa dia tau bahwa aku bahagia bisa melihatnya ada disini?
“Ntar malam ada acara gak?”, tanpa basa-basi Rifan langsung menyerangku dengan
pertanyaan itu, pertanyaan yang menimbulkan ribuan pertanyaan lain di
kepalaku. Ngapain dia nanya-nanya? Apa dia mau ngajakkin aku jalan? Ah,
apa itu mungkin?
Kuhapus jauh-jauh rasa penasaranku itu. Aku tak ingin membuat diriku berharap
pada sesuatu yang tak pasti. “Gak ada acara apa-apa, emang kenapa?”,jawabku
datar.
“Pas banget donk! Gue punya 2 tiket nonton di bioskop nih. Dan batas
pemakaiannya tuh hari ini. Lo mau gak nonton bareng gue ntar malam?”,
Mendengar pernyataan Rifan tersebut, hanya satu kalimat yang langsung
terpikirkan di kepalaku.Ini nyata gak sih?
“Lo ngajak gue jalan?” dengan ragu-ragu kulontarkan pertanyaan itu, pertanyaan
yang sebenarnya mewakili perasaan raguku atas pernyataan Rifan yang tadi.
“Ya kalo lo keberatan sih gak masalah juga, Rin. Gue gak maksa kok.” Rifan
menatapku seolah-olah………
Seolah-olah ada sesuatu di tatapannya itu, seolah-olah ada harapan di dalam
tatapannya itu. Aku terdiam, seolah hanyut dalam tatapannya yang sudah lama tak
kurasakan.
Kemudian ia tersenyum dan mengedipkan matanya, membuatku kembali sadar dan
segera memikirkan apa yang harus ku katakan sekarang? Ah! Nervous ini mulai
menyiksaku.
“Eh, ya, gue mau kok. Hehehe”,aku segera menjawab pertanyaannya dengan
terbata-bata, masih dalam keadaan nervous plus gak percaya kalo Rifan beneran
ngajak aku jalan malam ini. Rifan tersenyum lagi.
Aku merapikan rambut lurusku yang sedikit berantakan tertiup angin sore. Tak
begitu berantakan sih sebenarnya, hanya saja……… well, pernah ngalamin
yang namanya ‘salah tingkah?’ ya, itu yang sedang ku alami saat ini.
“Good! Ntar malam jam 7 gue jemput lo. Siap-siap ya.”
“Ya, hmm….” Aku masih cengengesan gak jelas.
Rifan menjauh dari pagar depan rumahku, menuju motornya yang ternyata diparkir
di seberang jalan. Aku memperhatikannya, dan kali ini aku tak perlu diam-diam
seperti yang sudah setahun terakhir ini aku lakukan di sekolah. Cowok berkulit
cokelat dengan tinggi badan kira-kira 5cm lebih tinggi dariku.
Aku masih di depan pagar rumahku sambil melihat pria itu menyalakan mesin
motornya, kemudian berbalik arah. Ia kembali ke depan rumahku, membuka kaca
helm-nya.
“Rin, nomor handphone lo masih yang dulu kan?”
“Iya, masih yang dulu kok….”
“Yaudah ntar gue SMS ya kalo udah mau jalan.”
“Ya…..”
Ia kembali menutup kaca helm-nya kemudian menarik gas dan berlalu dari
hadapanku. Aku memperhatikan motor itu melaju hingga tak terjangkau lagi oleh
pandangan. Ini nyata gak sih????
*********
”Serius lo, Rin??? Rifan ngajak lo nonton??” Suara Tiara terdengar
sangat bersemangat di seberang telepon ketika aku menghubunginya dan
menceritakan semua tentang yang terjadi antara aku dan Rifan sore ini. Aku tau
dia pasti tau bahwa saat ini aku sedang bahagia. Tiara benar-benar sahabat yang
memahamiku.
“Ya, gitu deh. Katanya sih kebetulan aja dia punya 2 tiket nonton yang expired-nya
hari ini.”
“ah paling juga itu cuma alasan dia aja, Rin. Gue yakin dia emang beneran
niat ngajakkin lo jalan. Ciyyeeeeee……..”
”hahahaa…” aku tertawa, sedikit geli rasanya. “Lo inget gak, Ra. 2 tahun yang
lalu, 3 hari sebelum ‘hari itu’ dia juga ngajak gue jalan, kan? Inget gak?”
“Eh, iya ya… gue ingat! Wah, jangan-jangan………”
“hus! Gak usah mikir yang enggak-enggak, ah. Hehehe”, aku langsung memotong
pembicaraan.
Aku tak mau ikut mengira-ngira apa yang akan terjadi setelah malam ini.
Memang sih, 2 tahun yang lalu Rifan juga melakukan hal yang sama. 3 hari sebelum
hari ulang tahunnya, ia mengajakku jalan. Apa mungkin?? Sudahlah, Rin.
Jangan memikirkan hal yang belum pasti, jangan berharap.
Aku tak boleh terlalu berharap, karena aku belum siap untuk kecewa ‘lagi’.
“gue seneng kalo lo seneng, Rin. Have a nice date ya. Hahaha”
Kulirik jam yang tergantung di tembok, jarum pendeknya sudah menunjuk angka 7.
Sementara itu Rifan belum mengabari apakah ia sudah jalan atau belum.
Setelah pembicaraanku dan Tiara di telepon usai, aku kembali merapikan
penampilan. Rambutku hanya ku gerai dan wajahku hanya beralaskan bedak tabur.
Tak ada make up apapun. Pakaian yang kukenakanpun cukup
sederhana, simple cropped tee berwarna biru dengan
bawahan celana jins favoritku.
Mungkin aku buruk dalam hal berpenampilan, tapi ya inilah apa adanya diriku…
Tak lama aku mondar-mandir di dalam kamar karena gelisah Rifan tak kunjung
memberi kabar, akhirnya kudengar suara tarikkan gas motor itu didepan rumahku.
Buru-buru langsung kuintip dari jendela kamar, memastikan apa benar itu Rifan.
Dan ternyata benar, itu Rifan. Aku tersenyum.
Tiba-tiba ponselku berdering… -Rifan memanggil-
“Gue udah di depan nih, lo udah siap kan? Keluar sekarang ya.”
“Ok.”
Teleponnya langsung ditutup. Aku kembali menatap penampilanku di cermin. Detak
jantungku mendadak cepat. Nafasku perlahan mulai tak beraturan. Aku kembali
tersenyum sambil memejamkan mata. Kenapa aku bisa sebahagia ini?
Kupoles sedikit bibirku dengan lipgloss pemberian Tiara.
Kubenarkan lagi rambutku agar tak berantakkan. aku ingin terlihat
‘maksimal’ !
~Tiinnnnnntt….tinntttt~
Rifan menyalakan klakson motornya, aku paham itu sejenis peringatan bahwa aku
harus segera keluar. HUFTTT…. Aku benar-benar nervous!
Setelah pamit sama mama, aku langsung keluar menemui Rifan. Ia terlihat tampan
dengan kaos oblong biru yang dikenakannya.
“wah, sama-sama biru nih,” celetuknya ketika melihatku.
Biru adalah warna favourite kami.. :’)
Aku hanya tersenyum, masih dalam keadaan tak percaya bahwa malam ini akan
menjadi malam yang singkat. Rifan langsung mengisyaratkanku untuk naik
keboncengannya. Kami pun berlalu dari depan rumahku…
**** *
Tak lama di perjalanan, motor yang dikendarai oleh Rifan ini berhenti di depan
sebuah bioskop yang tak asing bagiku.
“gapapa kan kalo kita nonton disini?” Tanya Rifan sambil membenarkan posisi
motornya di parkiran.
“Lo masih sering nonton disini?”
“gak sih, ini untuk pertama kalinya gue kesini lagi setelah…..” kalimat Rifan
terputus, kemudian kami saling melihat beberapa sepersekian detik, “hm, kita
langsung masuk aja yuk.”
Kami berjalan berdampingan memasuki gedung bioskop itu, gedung bioskop yang
sering kami kunjungi 2 tahun yang lalu. Ya, di bioskop ini banyak kenangan
tentang hubungan itu, hubungan yang telah usai.
Tapi kenapa Rifan membawaku ke sini? Padahal masih banyak biokop lain di luar
sana.
Sudahlah, sebaiknya aku tak memikirkan apapun, jangan sampai aku berharap
pada sesuatu yang belum tentu ada.
******
Singkat cerita, film yang kami tonton pun usai. Waktu sudah menunjukkan pukul
10 malam.
“Lo laper gak? Tanya Rifan ketika kami baru saja melangkah keluar dari bioskop
penuh kenangan itu.
“Lumayan sih, emang kenapa? Lo mau traktir gue makan?” aku sedikit bergurau, ya
setidaknya aku hanya ingin mencairkan suasana di antara kami yang sedari tadi
kusadari agak sedikit ‘sungkan’.
“ya, kan udah lama gue gak traktir lo makan.”
Aku tersenyum. Kenapa seolah-olah Rifan ingin mem-flashback masa-masa
‘itu’?
“Yaudah, yuk makan.”
Motor itu pun melaju lagi ke arah sebuah café yang terletak dipinggir pantai.
Dan pikiranku mulai merambat ke masa lalu.
Apakah saat ini aku sedang tersesat dimasa lalu? Atau memang Rifan sengaja
ingin menyeretku untuk mengulangi kembali masa-masa yang sudah lewat itu? Atau
tidak keduanya? Mungkin aku hanya sedang menikmati malam ini….
Ya, aku sedang menikmati malam yang akan segera berakhir ini.
Rifan kembali menghentikan motornya, kali ini kami berhenti di sebuah café yang
lagi-lagi tak asing bagiku. Aku menatap dalam-dalam ke arah café sederhana itu.
Dan kenangan itu mulai terputar di kepalaku, hampir saja airmataku menetes.
“Yuk”, aku tersontak dan kembali ke kenyataan, putaran kenangan yang hampir
membuatku tertidur perlahan hilang. Rifan menggandengku memasuki café itu.
Kulihat pria yang menggandengku tampak penuh dengan senyuman.
Ini hanya perasaanku saja atau memang Rifan benar-benar sangat menikmati
malam ini? Ia tersenyum sambil menggandeng tanganku.
Hey? Ini perilaku orang pacaran….. kami kan cuma mantan.
Sebenarnya apa modus Rifan melakukan semua ini?
Aku mengikuti langkah Rifan yang menuntunku ke sebuah meja di café itu. Dan
tebakkanku benar, ia mempersilahkanku untuk duduk di meja ‘favourite kami’ itu
setelah menarik kursinya agar bisa kududuki. Aku benar-benar merasa seperti
pacarnya, seperti masa lalu.
“nasi goreng ayam special extra pedas, minumnya jus jeruk, 2 porsi ya.” Rifan
memesan makanan. Aku tercengang. “masih suka sama menu itu kan?” Rifan
menatapku. Aku hanya tersenyum menunjukkan bahwa aku kaget.
Itu menu favourite kami setiap kali makan di café ini. Ntahlah kenapa kami
tak pernah bosan dengan menu itu.
“oh ya, tambahan 1 porsi onion ring + air mineralnya yang
dingin ya.” Rifan melanjutkan pesanannya. Lagi-lagi aku tercengang tak percaya.
“masih suka onion ring, kan? Hihi..” ia terkekeh.
Onion ring + air mineral dingin, aku hampir tak percaya bahwa Rifan
ingat cemilan favouriteku itu.
Ya Tuhan, kenapa Rifan melakukan semuanya persis seperti apa yang ia lakukan di
masa lalu? Apa sebenarnya motif mantan pacarku ini?
“Lo gak suka ya kalo gue melakukan apa yang dulu pernah gue lakukan waktu kita
masih ‘bareng’ ?” Tanya Rifan seolah-olah ia bisa membaca pikiranku.
Kulemparkan pandangan ke tepian pantai, menatap ombak-ombak yang bergelut
disana. “Gue suka kok… hanya saja, gue gak ngerti kenapa lo bersikap kaya
gini.”
“Rin…” Rifan menyerukan namaku, aku pun memalingkan wajah, menatapnya. “Sorry,
gue gak bermaksud nyeret lo kembali ke masa lalu kita. Gue cuma kangen sama
masa-masa itu.” Tutur Rifan, datar.
“Gue juga kangen….”
Aku tak tau apa yang ada di dalam pikiran pria berlesung pipi itu, dan aku tak
berani menebak. Aku takut tebakkanku meleset terlalu jauh.
******
11.15pm, aku tiba di rumah.
“langsung tidur ya, jangan sampai gak masuk sekolah besok. Haha”, pesan Rifan
sebelum akhirnya ia berlalu dari halaman depan rumahku.
‘Ra, gue bahagia………’
-pesan terkirim-
Entahlah Tiara sudah tidur atau belum, aku hanya ingin memberitahu bahwa aku
bahagia dengan malam singkat ini. Meskipun banyak pertanyaan yang muncul
dikepalaku dengan perilaku Rifan malam ini, aku bahagia. Aku senang bisa
mengalami semuanya kembali.
Apa Rifan masih menyimpan rasa untukku?
Pertanyaan itu akhirnya muncul dipikiranku setelah beberapa kali aku menolak
untuk bertanya seperti itu.
Aku terbaring di tempat tidurku sambil memeluk guling kesayanganku, bersembunyi
di balik selimut tebal, dan memikirkan apa yang seharusnya tak
kupikirkan. Apa Rifan masih mencintai aku seperti aku masih
mencintainya?
Pertanyaan itu terus muncul, hingga akhirnya membuatku berharap. Berharap ada
kemungkinan untuk mengulang semuanya kembali.
Ponselku berdering,
- satu pesan diterima –
Buru-buru kubuka pesan tersebut, mungkin itu balasan dari Tiara.
“Thank’s for tonight…. Have a nice dream ya, Rin.. see you tomorrow :)”
Ternyata bukan SMS dari Tiara, itu SMS dari Rifan.
Aku tertawa pelan, senyum sumeringah muncul dipipiku. Jantungku berdebar
kencang. Aku benar-benar kaget dan bahagia menerima pesan itu.
‘See you, Fan :)’
- pesan terkirim –
Aku kembali tersenyum, hampir tak mengerti apa yang sedang terjadi dengan
hatiku. Tapi satu hal yang aku tau dan aku yakin itu, aku masih
mencintainya dan sekarang aku benar-benar ingin mengulangi semuanya kembali….
Apakah itu mungkin? Aku harap jawabannya ‘YA’!
****
Esok harinya di sekolah, kuceritakan semua mengenai semalam pada Tiara.
Mendengar ceritaku, Tiara langsung memutuskan bahwa Rifan masih menyimpan rasa
padaku dan ia ingin mengulang semuanya kembali. Jujur, aku bahagia dengan
perkiraan itu.
Tapi bagaimana jika ternyata semua tak seperti yang kami perkirakan?
Bagaimana jika ternyata Rifan cuma sekedar iseng dengan apa yang ia lakukan
semalam?
“udah deh jangan mikir yang negative mulu!” cetus Tiara ketika aku
mempertimbangkan hal tersebut.
Ini hari Jum’at, hanya beberapa menit lagi bel tanda sekolah usai akan
berdering. Di kelas kami kebetulan tak ada guru, aku dan Tiara memutuskan untuk
berkeliling sekolah sambil bercerita ini dan itu.
Suasana sekolah sepi, karena memang ini masih jam pelajaran terakhir. Aku dan
Tiara duduk di sebuah bangku panjang yang terdapat dipojok gedung sekolah,
tepat disamping perpustakaan.
“coba aja setiap hari gak ada guru kaya gini yah, pasti gue bakal rajin banget
deh sekolah tiap hari..”
“hahahaha… dasar pemalas”,
Tawaku memecah keheningan beberapa saat. Hingga akhirnya ada seorang murid yang
keluar dari ruang perpustakaan, spontan aku mmemanggilnya karena memang murid
itu tak asing bagiku.
“Rifan??”, seruku, reflek.
Anak laki-laki itu pun melihat ke arahku dan Tiara, kemudian ia menghampiri
kami. “ngapain kalian disini?”
“ngadem… hehe”,jawabku.
“lo ngapain di perpus? Sejak kapan lo demen baca buku? Tumben…”, Tanya Tiara
sedikit bergurau.
“Oh, gak… gue cuma ada perlu aja tadi sebentar… oh ya, kebetulan ketemu kalian
disini gue mau ngingetin, besok malam jangan sampe ga dateng ya di acara gue.”
Rifan mengingatkan tentang birthday party-nya.
“jadi gue diundang?” tanyaku begitu saja.
“yaiyalah, justru gue berharap banget lo datang, Rin.” Ia tersenyum.. wajahku
merona.
“ciyeeeeee…..” desis Tiara.
“Ok ntar gue dateng bareng Tiara…”,jawabku singkat sambil ikut
tersenyum.
Teng teng teng.....~ bel berbunyi…
“Sip deh, jangan telat ya. Gue balik ke kelas dulu. See you..” Rifan pun
berlari ke kelasnya. Dan Tiara mulai cengengesan….
“feeling gue, dia bakal kasih kejutan buat lo, Rin.” Bisik Tiara, masih sambil
cengengesan.
“ah, ngaco!”
Aku bangkit dari bangku itu, berjalan mengikuti arah Rifan berlari, Tiara
mengikutiku di belakang. Namun tiba-tiba ia berlari mendahuluiku dan mulai
berjalan mundur sambil cengegesan melihat wajahku yang ternyata masih merona.
“gue yakin pasti malam minggu nanti bakal jadi unforgettable night buat
lo!”
BRUAKKKK! Buku-buku berjatuhan. Tanpa sengaja Tiara menabrak seseorang yang
baru saja keluar dari perpustakaan. “eh, sorry!” Reflek Tiara langsung membantu
siswi itu untuk memungut kembali buku-bukunya.
“Gak papa kak,” kata siswi yang ternyata adik kelas kami.
“Gita?” seruku. Ya, itu Gita. Aku ingat wajah cantik itu.
Gita menoleh ke arahku, “kakak kenal aku?” ia tampak heran.
“Lo ngapain di perpus?’ Tanya Tiara dengan ketus.
“ngerjain tugas.” Gita mengambil semua buku-buku yang tadinya ada di tangan
Tiara, kemudian buru-buru menuju kelasnya. Aku terdiam.
Tadi Rifan juga muncul dari perpus… apa mungkin??
Apa mungkin Rifan dan Gita janjian di perpus? Apa mungkin Rifan beneran
punya hubungan dengan Gita? Lalu bagaimana dengan aku?
“Rin?” Aku tau Tiara paham apa yang ada dipikiranku
“Gak usah dibahas.” Kataku sambil berjalan menuju gerbang.
“Gak usah dibahas.” Kataku sambil berjalan menuju gerbang.
Tiara mengikutiku dibelakang.
Suasana hatiku kacau !
*******
*******
Akhirnya malam itu tiba.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, dan aku tak mempersiapkan apapun untuk
hadir di acara Rifan yang akan dimulai 1 jam lagi.
‘Gue gak akan datang’
- pesan terkirim –
Setelah kupikirkan berulang-ulang, akhirnya kuputuskan bahwa aku tak akan
datang ke acara itu. Aku tak siap jika apa yang akan terjadi di pesta itu nanti
tak sesuai dengan apa yang ku harapkan.Aku takut kecewa lagi.
Tak lama setelah SMS itu kukirim, Tiara datang ke rumahku dan langsung
menemuiku di kamar.
“Lo harus datang, Rin! Gimana sih!” ia tampak kesal. Penampilannya sudah rapi
dan siap untuk menghadiri pesta ulang tahun itu. Sementara aku masih terduduk
di tempat tidurku dengan penampilan kacau.
“males,” jawabku singkat. Aku merebahkan tubuhku dan menarik selimut, memeluk
guling kesayanganku. “gue mo tidur aja…”
“Lo jangan kaya anak kecil deh, Rin. Mungkin kejadian di hari Jum’at itu cuma
kebetulan aja. Itu tuh gak memastikan bahwa Rifan dan Gita ada hubungan
khusus.”
“Gimana kalo itu bukan kebetulan? Gimana kalo emang kenyataannya ada hubungan
khusus diantara mereka? Dan gimana kalo ntar di pesta Rifan bakal nembak Gita
di depan semua orang? Gue gak siap buat ngelihat semuanya, Ra!” keluhku.
Kusadari airmataku perlahan membasahi bantal guling yang kupeluk erat. Aku
benar-benar takut.“Gue takut, Ra. Gue gak akan datang.”
“Rin….”
- satu pesan diterima –
Ponselku tiba-tiba berdering. Lansung kubaca pesan yang baru masuk itu.
”jangan sampe ga datang yah :D” SMS dari Rifan.
Aku menatap Tiara, kemudian ia merampas ponselku dan langsung membaca SMS
tersebut.
“Sekarang lo masih gak mau datang???” Tiara memandangku dengan wajah mengancam.
“Rin?....” tiba-tiba mama masuk ke kamarku. Segera kuusap airmata yang
berlinang di mataku.
“Ya, ma?”
“Katanya mau ke acara ulang tahunnya Rifan? Kok belum siap-siap sih?”
Hubunganku dan mama cukup dekat. Ia tahu semua menganai apa yang terjadi dalam
perjalanan hidupkui, termasuk mengenai Rifan.
“Iya nih, tan. Aku udah jemput kesini juga, masa Rini nya gak jadi datang sih.”
“Jadi kamu gak mau datang?” Tanya mama.. “yah, padahal mama mau nitip kado buat
Rifan.”
Aku terbelalak, “kado apaan?”
“ada deh.. nih.” Mama menyerahkan semuah kotak yang sudah dibungkus dengan
kertas kado. Dan aku tak tau entah apa isi kotak itu. “kamu buruan mandi gih,
ntar mama bantuin dandan biar cantik.” Bujuk mama.
Tiara dan mama terus memaksaku, membujuk ini dan itu. Mengingat SMS yang tadi
dikirim oleh Rifan, akhirnya kuubah keputusanku. “yaudah, iya. Rini mandi
sekarang”.
Mungkin benar kata Tiara, kejadian di hari Jum’at itu hanya kebetulan. Mungkin
memang semuanya hanya sekedar rasa khawatirku karena terlalu takut kecewa untuk
kedua kalinya.
*********
Jam 7.30 malam, aku dan Tiara tiba di rumah mewah keluarga Rifan. Sudah ramai.
Tak disangka ternyata pestanya semewah ini….
Pusat pesta ada di halaman depan pekarangan rumah itu. Dari luar pagar bisa
kulihat ada panggung kecil disana. Sepertinya Rifan mengundang band local. Jantungku
berdebar.
“Ready for this night?” setelah membayar taxi, Tiara mengandeng tanganku dan
menuntun kami memasuki area pesta.
Penampilanku malam ini simple. Aku hanya mengenakan gaun biru polos
berbahan syfon. Di leherku tergantung beberapa butir mutiara,
ini kalung punya mama yang sengaja dipinjamkan. Dan telapak kakiku sedikit
diperindah dengan high heels berwarna putih. Ini cukup simple
menurutku.
“entahlah, Ra.”, jawabku masih dalam keadaan nervous.
“Kok belum mulai ya? Rifannya juga gak keliatan…” Tiara celingak-celinguk.
“Bentar lagi kali….”, jawabku sok tau.
“Kiarain gak bakal datang!” tiba-tiba Rifan muncul dibelakang kami. Membuat
debaran jantungku semakin tak karuan. Aku menggenggam erat kado titipan dari
mama.
Aku dan Tiara hanya cengengesan tak jelas.
“Yaudah, nikmati aja dulu hidangannya. Acaranya bakal gue mulai beberapa menit
lagi..”
Persis hanya sekedar menyambut tamu. Kemudian Rifan meninggalkan kami.
Sementara itu Tiara langsung menyeretku ke meja yang penuh dengan makanan.
10 menit kemudian. Rifan naik diatas panggung kecil itu.
“well guys, sebelumnya gue ngucapin thank’s so much buat kalian semua yang
bersedia datang di acara gue malam ini. And then, are you ready to sing an
happy birthday song for me? Hahah”, Rifan berbicara dengan microphone
di tangannya.
Acaranya pun dimulai. Setelah sedikit berbasa-basi, akhirnya beberapa orang
teman dekatnya Rifan ikut naik ke panggung sambil membawa kue ulang tahun yang
bertuliskan ‘Happy sweet 18thRifan Pratama’.
Lantunan lagu selamat ulang tahun, happy birthday, dan tiup lilinnya pun
menggema di tengah pesta. Semua tamu yang sebagian besarnya adalah teman-teman
sekolah kami bersorak sambil bertepuk tangan. Acara yang meriah.
“bagian kasih kadonya kapan ya?” bisikku pada Tiara.
“ntar kali, Rin..”
Aku sudah tak sabar ingin mengucapkan happy birthday pada
Rifan. Kusadari aku belum mengucapkannya sama sekali. Selain itu aku juga ingin
mengucapkan happy failed anniversary 2ndyears padanya. Ya,
hari ini adalah tanggal jadian kami 2 tahun yang lalu. Entahlah apa Rifan masih
mengingatnya atau tidak. Aku benar-benar sudah tak sabar….
“Ok, sebelum kalian kembali menikmati hidangan yang sudah disajikan, gue mau
minta perhatian kalian beberapa menit aja. Ada yang mau gue sampaikan untuk
seseorang yang merupan tamu special di acara gue malam ini.” Rifan
kembali berkoar dengan microphone-nya di atas panggung.
Seisi pesta bersorak… Ciyeeee ~huuuuu…..
“Bener kan kata gue? Pasti bakal ada kejutan! Feeling gue bilang tamu special
yang dimaksud itu adalah Lo, Rin. Makanya tadi dia bela-belain SMS lo buat
ngingetin untuk datang ke pesta ini.” desis Tiara di sebelahku. Perkataannya
membuatku berdebar.
Ah, apa itu mungkin?
“ya, semoga aja….” Desisku ditengah keriuhan pesta.
“hihi,” Tiara terkekeh kemudian ia menggandeng tanganku. Kami sama-sama degdegan menanti
Rifan melanjutkan kalimatnya.
”huh! Jadi deg deg kan gini gue! Haha….”, lanjut Rifan.
Seisi pesta kembali bersorak.
“well, langsung aja deh.”
Kemudian hening, yang terdengar hanya suara Rifan yang bergema melalui speaker.
“buat seseorang yang merupakan tamu special gue malam ini, gue cuma mau
bilang kalo lo gak cuma special dalam pesta ini, tapi lo juga special dalam
hati ini.”
Ciyyeeee…… para tamu bersorak. Tiara menyenggol-nyenggol lenganku
sambil cengengesan. Sepertinya ia yakin sekali bahwa tamu special itu adalah
aku. Sama sih, aku juga memikirkan hal yang sama. Banyak alasan kenapa
aku dan Tiara berpikir seperti itu. Apa yang terjadi 3 hari belakangan ini
cukup menjelaskan semuanya.
Pesta kembali hening. Rifan kembali memposisikan microphone di depan bibirnya.
”Dan malam ini, gue mau bakal jadi malam yang gak akan terlupakan. Siapa
tamu special itu???”
“siapa sih???”
“ah Rifan bikin penasaran aja….”
“huuuuuuuu”
Hampir semua orang yang ada di pesta mulai penasaran, termasuk aku dan Tiara.
Aku memejamkan mataku. Membayangkan sesaat lagi Rifan akan menyerukan namaku..
Apakah mungkin??
”a girl with a blue gawn…..” jantungku seolah berhenti berdetak,
aku tak berani membuka mataku sebelum Rifan benar-benar menyebutkan nama gadis
yang ia maksud.
Disebelahku Tiara mulai gregetan, ”blue gawn!” desisnya.
“Gita Diandra….. would you like to stand with me here?”
GITA?
Keheningan memecah. Pesta kembali riuh. Beberapa meter di belakangku terdengar
teriakkan yang tak asing bagiku. Ya, tak salah lagi. Disana ada Gita dan
teman-temannya yang heboh.
Air mataku menetes.
a girl with a blue gawn… Ternyata Gita juga mengenakan gaun berwarna biru.
Dadaku menyesak. Tangisku terisak namun kutahan. i’m not that special
guest…
“Rin,” suara Tiara melemah.
“gue gak papa kok…” kuangkat wajahku, kuusap airmataku. Dan ,mencoba untuk
tersenyum “gue gak papa, Ra….”
Prok prok prok…..
Seisi pesta bersorak dan bertepuk tangan. Gadis yang merupakan tamu special itu
perlahan melangkah menghampiri Rifan di atas panggung. Aku ikut bertepuk
tangan, sambil tersenyum dan airmataku terus menetes.
Rasanya aku ingin teriak! Aku ingin menangis sekencang-kencangnya!
“Rin, kita balik aja yuk.” Tiara cemas melihatku yang
mencampur-adukkan antara tangis dan senyum sambil bertepuk tangan.
“Gue gak papa, Ra! Gue udah ngebanyangin hal ini bakal terjadi”
Aku tetap diposisiku. Aku tak mau melangkah sedikitpun. “gue gak akan balik
sebelum ngasih kado ini ke Rifan. Ini titipan mama, Ra.”
Aku masih terisak, namun aku tersenyum. Sesekali kuusap airmata yang menetes.
Tiara benar-benar terlihat khawatir.
“Udah deh, kita balik sekarang!” bentak Tiara, namun pesta terlalu ramai hingga
tak ada yang mendengar bentakkan itu.
“enggak!”
Tak lama kemudian Rifan menyatakan cintanya pada gadis berkulit putih itu.
Semua tamu yang hadir kembali bersorak, kecuali aku. Aku tak dapat menahan
tangis saat Rifan mengucapkan kalimat I love upada gadis itu.
2 tahun yang lalu, Rifan mengucapkan kalimat itu untukku :(
****epilog****
Aku hancur. Kusadari mataku mulai bengkak dan make up-ku sudah
luntur terkena airmata.
“thank’s untuk perhatiannya. Sekarang silahkan kembali menikmati hidangan
yang sudah disajikan…” Kata Rifan.
Aku berjalan mendekati panggung. Beberapa kali kuusap wajahku dengan tisu agar
Rifan tak curiga. “Lo mau ngapain Rin?”
“mau ngasih kado, dan ucapan happy birthday..” jawabku datar.
Menyadari aku mendekati panggung, Rifan turun dari panggung itu dan Gita
mengikutinya.
“Happy birthday…” kataku padanya ketika dia sudah tepat dihadapanku dan pacar
barunya-Gita- tepat disampingnya.
Kuserahkan kado pemberian mama yang tadi dititipkan.
“Thank’s Rin.” Tatapan Rifan datar. Aku yakin ia pasti tau bahwa aku tak sedang
baik-baik saja.
“and happy failed anniversary 2ndyears.” Lanjutku. Lagi-lagi
airmataku menetes. Reflek langsung kuusap dengan tisu yang sudah remuk di
genggamanku. “Semoga kalian langgeng ya..”
Gita tercengang. “jadi, kakak ini…”
“Rin… kita balik sekarang!” Tiara menarik tanganku.
“Jaga dia baik-baik, Fan. Jangan sakiti dia, dan jangan tinggalin dia gitu aja
seperti dulu lo ninggalin gue…” tuturku lembut sambil berusaha untuk tersenyum,
sementara itu airmataku terus menetes dan terus kuusap berkali-kali.
Rifan terdiam. Tiara menyeretku dan akhirnya aku menjauh dari pasangan kekasih
yang baru jadian itu.
Kado pemberian mama yang aku tak tau entah apa isinya sudah kuserahkan pada
Rifan.
Ketika tiba dirumah, Tiara memelukku.
“Maafin gue, Rin. Harusnya gue gak maksa lo untuk datang ke acara itu…”
Aku gak papa kok..
Aku baik-baik aja..
Mungkin ya, sedikit sakit dan mengecewakan.
Dan sekarang aku harus terpuruk kembali karena harus merelakan Rifan untuk
bahagia dengan pacar barunya.
“Tuhan, bantu aku untuk merelakannya bahagia dengan orang lain :’)”
- THE END -